Ketika saya masih duduk di SD MUHAMMADYAH VI Surabaya—saat itu awal tahun 80 an—sedang ada pemilu di Indonesia. PPP saat itu terkenal sebagai partai Islam dan kebetulan ayah saya adalah aktivis dari partai berlambang KA’BAH tersebut. Sehingga mau nggak mau saya pun ikut-ikutan dalam pesta demokrasi tersebut. Tentunya karena saya beragama Islam, saya merasa PPP adalah partai yang harus saya pilih dan kalau ada teman saya yang tidak mendukung, otomatis saya memusuhinya. Sedemikian besar rasa fanatisme saya.
Di sekitar tahun itu juga, dua orang sepupu saya pindah agama dari Islam ke agama Oma–Opa saya yaitu Katholik. Perpindahan agama sepupu saya tersebut membuat saya kecewa berat dan sempat terjadi debat panjang lebar antara saya dan kedua sepupu saya tersebut tentang posisi Jesus sebagai Tuhan dan Anak Tuhan. Saya nggak bisa membayangkan saat ini: apa yang dibicarakan anak SD ( saya dan sepupu saya ) saat itu? Peristiwa awal 80- an tersebut diakhiri dengan berderainya air mata saya yang menangisi nasib sepupu saya yang pasti masuk neraka karena murtadnya ( kira- kira begitu pemahaman saya saat itu ).
Begitulah sebagian kecil cerita cerita di masa puber saya, sehingga fanatisme itu semakin lama semakin pudar seiring dengan semakin dewasanya pemikiran saya yakni semenjak saya semakin banyak mempelajari ilmu agama dan peradabannya hingga tasawuf yang melepaskan saya menuju kepada kedewasaan dalam beragama .
Fanatisme adalah masa-masa yang harus dilewati oleh setiap muslim yang haus akan ilmu Tuhan. Sebab, pola pikir fanatisme adalah pola pikir kanak-kanak yang harus dilampauai untuk menunju pola pikir dewasa, termasuk dalam beragama. Tetapi sayangnya tidak semua lolos menjadi dewasa dalam memahami keanekaragaman agama-agama dan tafsir-tafsirNYA. Tetap saja ada yang masih terjebak dalam masa-masa puber. Bener-bener capek nglihat orang yang kayak beginian! Umurnya sih sudah tergolong syaikh-syaikh, tetapi pemikirannya masih taman kanak-kanak.! Repot deh jadinya!!
Jalaluddin Rumi pun pernah mengalami masa- masa puber di usia muda nya, sehingga membuat dia sering terlibat debat-debat terbuka dengan beberapa pendeta Khatolik. Tetapi Jalaluddin Rumi muda cepat menuju kedewasaannya sehingga boleh sejarah katakan bahwa Jalaludin Rumi tidak hanya di kenal sebagai pemimpin orang Islam, tetapi juga pemimpin semua umat agama. Bahkan saat Jalaluddin Rumi meninggal dunia, seluruh pemimpin umat beragama bergantian memberikan penghormatan terakhir di depan pusara Jalaluddin Rumi . Subhanallah!